3 Tahap Perkembangan Keberagamaan Peserta Didik

Februari 26, 2018 0

Muhibbin Syah dalam bukunya “Telaah Singkat Perkembangan Peserta Didik” setidaknya mengemukakan tiga tahapan dalam perkembangan keberagamaan peserta didik yang bisa dijadikan sumber bacaan bagi guru untuk mengetahui sejauh mana perkembangan keberagamaan pada peserta didiknya.

Pertama, tahap fairy tale stage (dongengan). Tahap ke-1 ini berlangsung pada usia 3-6 tahun. Dalam mengenal konsep Tuhan anak lebih banyak dipengaruhi oleh khayalan dan perasaan sesuai dengan tahap perkembangan inteleknya yang masih amat sederhana. Oleh karena itu, kehidupan pada rentang usia tersebut masih diliputi fantasi dan emosi, menanggapi hiruk pikuk kehidupan keagamaan pun hanya didasarkan pada dongeng-dongeng yang menimbulkan emosi tertentu. Jiwa keagamaan anak pada pada rentang usia 3-6 tahun bersifat unreflective (tidak mendalam) dan lebih cenderung menganggap Tuhan sebagai manusia tetapi dengan kekuatan yang lebih besar daripada orang-orang sekelilingnya. Boleh jadi, jiwa keagamaan seperti ini merupakan konsekuensi dari watak egosentris anak, sehingga dalam beragama pun (termasuk cara memahaminya) masih diorientasikan pada kepentingan dirinya sendiri.

Kedua, tahap realistic stage (kenyataan). Tahap ke-2 ini berlangsung pada rentang usia sekolah MI/SD (6 atau 7-11 atau 12 tahun). Pada tahap realistic stage gagasan mengenai ketuhanan mulai ditanggapi secara realistis sesuai dengan pelajaran dari orang tua, guru di sekolah, dan ilustrasi keagamaan di sekitarnya. Meskipun sikap anak pada tahap ini masih dipengaruhi emosi, namun jiwa keagamaannya sudah tidak didasarkan pada fantasi semata, sehingga pelajaran agama dan segala amal keagamaan ia ikuti dengan penuh minat.

Ketiga, tahap individual stage (individual). Tahap ke-3 ini berlangsung pada usia remaja dan seterusnya. Pada tahap ini jiwa keagamaan manusia sudah bersifat realistis dalam arti tidak bergantung pada dongengan/fantasi dan emosi meskipun pada saat-saat tertentu jiwa keagamaannya dapat memicu emosi tertentu, misalnya ketika Tuhan dan agamanya dilecehkan orang. Di antara hal-hal penting yang perlu dicatat pada tahap ini ialah diperolehnya konsep ketuhanan yang bersifat humanistik. Artinya, agama yang ia anut telah dihayati dengan baik dan menjadi etos humanist (jiwa khas kemanusiaan) yang tertanam dalam pribadinya. Tinggi-rendahnya etos ini bergantung pada pengalaman belajar dan lingkungannya termasuk lingkungan keluarga, teman sejawat, dan lingkungan pendidikannya.

Perlu dicatat, bahwa perasaan keagamaan pada remaja peserta didik MTs/SMP dan MA/SMA pada umumnya belum stabil tapi berubah-ubah sesuai dengan pengalaman/peristiwa yang mereka alami. Kecintaan dan kebutuhan akan Tuhan misalnya, kadang-kadang tidak terasa ketika mereka mengalami kesenangan dalam kehidupan yang serba mewah dan mudah. Sebaliknya ketika mereka dalam kesulitan besar atau ancaman musibah yang menyengsarakan, mereka cenderung merasa membutuhkan Tuhan dan perlu lebih sering mendekatkan diri kepada-Nya. Namun, kelabilan jiwa/perasaan keagamaan ini dapat diatasi atau diantisipasi oleh para guru agama dengan pembelajaran agama yang lebih intensif dan ekstensif. Upaya ini amat penting dalam rangka membuat agama menjadi sistem nilai diri yang dapat menuntun sikap dan perbuatan mereka sepanjang masa.

Contoh Latar Belakang Masalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK)

Februari 19, 2018 0

Tingkat keaktifan siswa dalam kegiatan pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) kelas VII di SMP Ar-Rahman dinyatakan sangat rendah. Hal tersebut ditandai dengan kurang aktifnya siswa ketika kegiatan pembelajaran di kelas sedang berlangsung, seperti cenderung enggan mengajukan pertanyaan dalam pembelajaran. Guru sering memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya, tetapi hampir tidak ada siswa yang mau bertanya. Siswa juga enggan untuk berpendapat atau pun menjawab pertanyaan yang dilontarkan gurunya sehingga pembelajaran cenderung menjadi pasif, seolah-olah guru yang menjadi subjek dan siswa yang menjadi objek dari pembelajaran tersebut atau yang lebih dikenal dengan istilah teacher centered.

Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasatya mengemukakan bahwa “proses belajar yang bermakna adalah proses belajar yang melibatkan berbagai aktivitas para siswa. Untuk itu guru harus berupaya untuk mengaktifkan kegiatan belajar mengajar tersebut.” Disamping itu keaktifan siswa dalam proses pembelajaran akan sangat menentukan hasil dan kualitas dari pembelajaran itu tersendiri. Mengenai hal ini E. Mulyasa mengatakan bahwa “pembelajaran dikatakan berhasil dan berkualitas apabila seluruhnya atau setidak-tidaknya sebagian besar (75%) peserta didik terlibat secara aktif, baik fisik, mental maupun sosial dalam proses pembelajaran, di samping menunjukkan kegairahan belajar yang tinggi, semangat belajar yang besar, dan rasa percaya pada diri sendiri.”

Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh para ahli diatas mengenai keaktifan siswa dalam kegiatan pembelajaran, maka apa yang terjadi pada siswa kelas VII di SMP Ar-Rahman dalam kegiatan pembelajaran Pendidikan Agama Islam merupakan suatu permasalahan yang harus segera terselesaikan. Oleh karena itu, menciptakan situasi dan kondisi pembelajaran yang memungkinkan dapat terjadinya interaksi antara guru dan siswa merupakan suatu hal yang sangat penting sebagai langkah awal dalam upaya untuk membangkitkan serta mengembangkan keaktifan siswa di kelas.

Untuk menciptakan suasana kegiatan pembelajaran yang aktif tersebut, maka metode dan model pembelajaran merupakan solusi terbaik untuk pemecahan terhadap permasalahan ini. Karena tidak dapat dipungkiri bahwasannya kebanyakan guru terlebih lagi guru mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) lebih cenderung menggunakan metode dan model pembelajaran berbasis passive learning seperti ceramah, membaca, audio-visual dan lain sebagainya jika dibandingkan dengan menggunakan metode dan model pembelajaran berbasis active learning seperti diskusi, jigsaw, kancing gemerincing dan lain sebagainya.

Oleh karena itu peneliti mencoba untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan penggunaan metode dan model pembelajaran berbasis active learning untuk meningkatkan keaktifan siswa dalam kegiatan pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) kelas VII di SMP Ar-Rahman.

Poligami dan Poliandri dalam Sudut Pandang Islam

Februari 16, 2018 0

Allah SWT sang maha pencipta menciptakan segala sesuatu dengan berpasang-pasangan. Dimana terjadi siang maka kelak akan terjadi juga malam, ada juga bumi yang kita pijak maka ada pula langit yang menaungi kita. Adapun perasaan yang dimiliki setiap individu juga demikian. Ada rasa bahagia maka ada juga rasa sedih, ada rasa cinta maka ada juga rasa benci. Itulah yang membuat kehidupan menjadi lebih berwarna. Bisa dibayangkan apabila manusia hidup di dunia ini hanya pada waktu malam saja, atau manusia hanya merasakan kesedihan selama hidupnya. Oleh karena itu Allah juga menciptakan manusia itu dalam jenis laki-laki dan perempuan dan menjadi pasangan dalam menjalani kehidupan ini. Allah SWT berfirman dalam QS Ar-Rum ayat 21.

 وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir."

Membangun rumah tangga yang tenteram dan penuh rasa kasih sayang merupakan dambaan setiap manusia yang lebih dikenal dalam Islam sebagai keluarga sakinah mawaddah warahmah. Namun yang jadi permasalahannya apakah bisa sebuah rumah tangga mencapai kedudukan keluarga yang didambakan tersebut apabila dilakukan dengan cara polgami atau poliandri? Maka dalam kesempatan ini penulis akan sedikit menguraikan permasalahan tersebut dari sudut pandang Islam yakni dari berbagai literatur dan diskusi yang penulis ikuti.

A. Pengertian Poligami dan Poliandri
Poligami diambil dari bahasa Inggris yakni polygamy yang berarti beristri lebih dari seorang atau dikenal dalam Islam dengan istilah تَعَدُّدُ الزَّوْجَاتِ. Istilah poligami sudah tidak asing lagi didengar dalam kehidupan masyarakat dewasa ini. Banyak orang membicarakan poligami dari berbagai sudut pandang ataupun menyatakan posisinya terhadap hal tersebut. Adapun poliandri adalah kebalikan dari poligami itu sendiri yang sama halnya diambil dari bahasa Inggris yakni polyandry yang berarti bersuami lebih dari seorang atau dikenal dalam Islam dengan istilah تَعَدُّدُ الأَزْوَاجِ. Mungkin untuk istilah poliandri ini jarang sekali orang mengetahuinya karena dalam kenyataannya sendiri jarang sekali ditemukan terutama di negara kita Indonesia.

B. Pandangan Islam terhadap Poligami
Islam telah mengatur sedemikian rupa perihal poligami ini dalam QS. An-Nisa ayat 3.

 وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا

"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya."

Dalam tafsir Jalalain, Jalaluddin As-Suyuthi mengatakan bahwasannya boleh seorang laki-laki itu menikahi lebih dari seorang perempuan, yakni boleh dua, tiga atau empat tetapi tidak boleh lebih dari itu. Namun perlu digaris bawahi bahwa bolehnya hal tersebut dengan memenuhi persyaratan adil, yakni adil dalam hal giliran dan pembagian nafkah.

Adapun Quraish Shihab dalam tafsirnya Al-Misbah mengatakan bahwasannya ada tiga syarat mengapa Islam membolehkan poligami. Pertama, jumlah istri tidak boleh lebih dari empat. Kedua, suami tidak boleh berlaku zalim terhadap salah satu dari mereka (harus berbuat adil). Ketiga, suami harus mampu memberikan nafkah kepada semua istrinya.

Selain dalam QS. An-Nisa ayat 3, masalah poligami ini juga terdapat dalam beberapa hadis yang kiranya dapat dijadikan sebagai penjelas dari ayat tersebut.

عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ غَيْلَانَ بْنَ سَلَمَةَ الثَّقَفِيَّ أَسْلَمَ وَلَهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَأَسْلَمْنَ مَعَهُ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَتَخَيَّرَ أَرْبَعًا مِنْهُنَّ . ( رواه ترميدي )

"Dari ibnu Umar, bahwa Ghailan bin Salamah Ats-Tsaqafi masuk Islam, sedangkan ia mempunyai sepuluh orang istri pada zaman jahiliyah, lalu mereka juga masuk Islam bersamanya, kemudian Nabi SAW memerintahkan Ghailan untuk memilih (mempertahankan) empat diantara mereka. (HR. Tirmidzi)." 

Hadis diatas merupakan pengimplementasian dari QS. An-Nisa ayat 3 dimana sudah dijelaskan dalam beberapa tafsir bahwasannya jumlah istri yang diperbolehkan dalam Islam adalah empat. Sebab itulah ketika Ghailan bin Salamah Ats-Tsaqafi masuk Islam dengan para istrinya yang berjumlah 10 maka Nabi Muhammad SAW memerintahkan agar Ghailan memilih empat istri saja dan menceraikan sisanya.

Adapun mengenai keadilan suami terhadap para istrinya, Nabi Muhammad SAW sangat menekankan hal tersebut agar dilakukan dengan sebaik mungkin.

 عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ كَانَ لَهُ زَوْجَتَانِ فَمَالَ إِلَى أَحَدِهِمَا فِيْ الْقِسْمِ جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَ أَحَدُ شَاقَيْهِ مَائِلاً . ( رواه أبو داود و النّسائى و ابن ماجة و أحمد )

“Dari Abi Hurairah RA sesungguhnya Nabi SAW bersabda: “Barang siapa yang mempunyai dua orang istri lalu ia lebih condong pada salah satunya dalam memberikan bagian, maka ia akan datang pada hari kiamat kelak salah satu betisnya dalam kedaan miring (pincang)”.

Betapa beratnya seorang suami melaksanakan keadilan sehingga Nabi Muhammad SAW memberikan peringatan kepada siapa saja yang tidak berlaku adil terhadap istri-istrinya maka kelak pada hari kiamat suami tersebut akan mendapat balasannya. Kiranya hal inilah yang harus menjadi pertimbangan untuk orang yang hendak berpoligami. Sejauh manakan dia bisa berbuat adil? Dan sudahkah dia berbuat adil untuk dirinya sendiri? Karena terkadang manusia sering lupa dan tidak sadar bahwa dia sebenarnya telah berbuat tidak adil dan dzalim terhadap dirinya sendiri. Bagaimana orang tersebut akan berbuat adil terhadap orang lain sedangkan terhadap dirinya sendiri pun dia tidak bisa.

Terkadang dalam hidup ini terasa sulit sekali untuk berbuat adil, jangankan adil kepada orang lain, coba kita renungkan diri kita sendiri. Berapa waktu yang diberikan Allah untuk kita setiap harinya? dan digunakan untuk apa saja waktu itu? Berapa waktu yang kita habiskan untuk bekerja dan beristirahat? Berapa jam kah waktu yang kita habiskan untuk belajar dan bermain? dan apakah waktu yang kita habiskan hanya berkutat seputar dunia saja? atau pernahkah kita luangkan waktu kita untuk mencapai ridha Allah? Sudah saatnya kita menintrospeksi diri.

C. Pandangan Islam terhadap Poliandri
Para ulama sepakat bahwasannya menikahi seorang perempuan yang sudah menikah adalah haram dan dilarang dalam Islam. Sebagaimana dalam QS. An-Nisa ayat 24.

 وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

"Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." 

Adapun Nabi Muhammad SAW bersabda:

 لَا يَحِلُّ لِامِْرئٍ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْأَخِرِ أَنْ يَسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ

“Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Alloh dan hari akhir menyiramkan airnya (sperma) pada tanaman orang lain (vagina istri orang lain). (Hadits Riwayat Abu Daud, Al-Tirmidzi, dan hadits ini dipandang shahih oleh Ibnu Hibban)” 

Sudah jelas bahwasannya poliandri itu tidak diperbolehkan dalam Islam. Hal ini dilarang karena poliandri akan menimbulkan berbagai masalah seperti ketidakjelasan keturunan, karena jika suami lebih dari satu maka akan sulit menentukan anak siapa yang dikandung oleh perempuan tersebut. Perempuan yang melakukan poliandri pun akan mengalami gangguan pada sistem kekebalan tubuhnya yang akan mengakibatkan penyakit ganas, seperti kanker rahim dan payudara yang bisa menimpa pada wanita yang berhubungan dengan lebih satu lelaki. Hal tersebut merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dr. Jamal Eddin Ibrahim, seorang professor Toksiologi di Universitas of California dan Direktur Laboratorium Penelitian Hidup. Untuk lebih lengkapnya silahkan baca


Demikian yang bisa penulis sampaikan melalui tulisan sederhana ini. Semoga bermanfaat untuk kita semua dalam menghadapi kenyataan hidup di dunia yang tidak pernah terlepas sedikitpun dari berbagai masalah. Sebagai umat Islam kita mempunyai pedoman dalam hidup ini yakni Al-Quran dan Hadits, maka gunakanlah pedoman tersebut dalam segala urusan agar kita tidak tersesat dan berada di jalan yang lurus dalam menggapai ridha ilahi.

Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam: Penjelasan Perihal Orang-Orang Sadiqin di Dalam Tajrid

Februari 05, 2018 0

"Kehendakmu agar semata-mata beribadah, padahal Allah telah menempatkan dirimu sebagai golongan orang yang harus berusaha untuk mendapatkan kehidupan duniamu (sehari-hari), maka keinginan seperti itu termasuk perbuatan (keinginan) syahwat yang halus. Sedangkan keinginanmu untuk berusaha, Padahal Allah telah menempatkan dirimu di antara golongan yang semata-mata beribadah, mengikuti keinginanmu itu, berarti engkau telah turun dari semangat dan cita-cita yang tinggi."

Ungkapan tajrid di atas berarti meninggalkan sebab yang menjadi jalan untuk menemukan apa yang seharusnya dijalankan oleh orang-orang sadiqin, yakni dengan melaksanakan suatu sebab tidak membiarkan dirinya jatuh kepada perbuatan yang salah, karena berniat meninggalkan urusan duniawi, sebab semata-mata hendak beribadah.

Watak yang dimiliki oleh orang sadiqin, ialah tidak meninggalkan dunia karena akhirat, dan tidak meninggalkan akhirat sebab dunia. Hubungan timbal balik antara dunia dan akhirat seperti yang dikehendaki oleh Islam, adalah suatu keharusan yang patut diusahakan dan ditunjang dengan perilaku akhlak Islami yang akan menunjang semua hal yang menyangkut urusan duniawi dan ukhrawi.

Menempatkan kedua masalah tersebut di atas adalah suatu jalan yang benar bagi orang sadiqin yang memandang kehidupan dunia dan akhirat dalam semua perilaku manusia, saling menunjang dan tidak terpisahkan satu dengan lainnya.

Kedudukan manusia dalam tajrid, karena kehendak mentaati Allah, lalu meninggalkan usaha (kasab), padahal ia masih memerlukan kasab itu sebagai keperluan yang wajar secara duniawi, maka kehendak tajrid seperti itu termasuk syahwat badani yang tidak pada tempatnya. oleh karena ia membutuhkan seperti pada umumnya manusia berhubungan dalam hidup melalui tolong menolong yang berkaitan dengan sesama manusia.

Syahwat badani seperti ini memang syahwat yang halus, karena bukan perbuatan yang tidak diperbolehkan, akan tetapi tidak pada tempatnya, apalagi kalau tajrid seperti itu adalah suatu keinginan agar dianggap sebagai manusia zuhud (orang yang tidak berkehendak kepada dunia, semata-mata karena Allah). Kehendak seperti ini bertentangan dengan kehendak Allah sendiri, karena akan menjerumuskan kepada syirik yang halus pula.

Sebaliknya, orang yang telah mendapatkan keputusan Allah untuk beribadah saja (dalam maqam tajrid saja) berarti ia sudah tidak mempunyai tugas duniawi yang melibatkan dirinya pada ikhtiar duniawi, hanyalah semata-mata beribadah, karena Allah telah memilih ia untuk hal itu. Orang seperti ini bukanlah karena ia tidak memerlukan lagi kehidupan dunia, untuk keperluannya yang primer, tetap Allah telah menjamin kehidupan dunianya dengan rezeki yang tak dapat diduga-duga. Dalam urusan duniawi ia tidak terlalu mengharapkan mendapatkannya, karena ia telah siap menerima anugerah Allah dengan jalan beribadah kepada-Nya semata.

Inilah orang yang sadiqin di atas jalannya. Ia tidak tamak menghadapi hidup melewati jalan tajrid, karena menempatkan duniawi sebagai hal yang tidak mengikatnya sebagai belenggu yang merusak ibadahnya kepada Allah. Dalam pelaksanaan ibadah kepada Allah, ada dua hal yang perlu diingat, lalu menempatkan diri secara teguh (istiqamah) pada tempat yang diplih si hamba untuk perjuangan hidupnya di dunia dan di akhirat. Kedudukan dua hal ini tidak berbeda. Karena niat yang tersembul dari perbuatan seperti itu sama kedudukannya, yakni untuk beribadah. Masalahnya sekarang adalah bagaimana seseorang menekuni  perilaku ibadahnya. Di satu pihak keinginan tajrid lebih kuat dan lebih dominan, di pihak lain keinginan duniawi lebih condong mengikuti semua perbuatan sebagai ibadah juga.

Untuk menghilangkan keraguan (was-was) dalam diri hamba yang sadiqin, maka harus menekuni dua perilaku tersebut, sehingga masing-masing mampu memberi nilai lebih dan menjadikannya sebagai ibadah yang bermanfaat dunai dan akhirat.

Meskipun demikian, perlu dipahami bahwasannya maqam tajrid yang telah dipilih oleh seorang hamba yang sadiqin adalah maqam yang mulia, karena tidak semua oorang mampu berada pada maqam tersebut. Maqam tajrid ini adalah plihan Allah atas hamba-Nya dalam hubungannya dengan peribadatan yang khusus.

Adapun ciri-ciri hamba yang sadiqin dan tajrid, diantaranya:
1. Mendekatkan diri kepada Allah, akan tetapi tidak mengabaikan duniawinya.
2. Mengkhususkan diri beribadah semata-mata kepada Allah, karena Allah telah menjamin hidup duniawinya, karena ibadah-ibadah yang ia amalkan.
3. Menempatkan diri dalam hidup sederhana (qana'ah) dan menjaga kehormatannya (iffah) dalam hubungan sesama manusia.
4. Tidak menyia-nyiakan pemberian Allah yang telah diterima oleh si hamba (seperti rezeki) yang tak terduga, untuk kepentingan manusia lainnya. Kemudian ia tetap istiqamah dalam ibadah yang dijalankannya.
5. Jiwa dan ruh mereka tenang menikmati ibadah kepada Allah.
6. Mengembalikan seluruh persoalan yang telah terjadi dan yang akan terjadi kepada Allah. Serta mengerjakan sesuatu perbuatan semata-mata karena izin Allah.

Demikian sifat-sifat orang-orang sadiqin yang beriman kepada Allah atas segala ciptaannya, menerima atas segala kejadian baik dan buruk yang datang dari Allah, kemudian berusaha untuk memberi faedah kepada sesama hamba Allah.